Sebagian dari kita pasti pernah mengalami gagal, jatuh, dan dipatahkan. Tak heran membuat diri kita menjadi bersedih dan takut untuk melangkah. Padahal sebuah proses memerlukan patah dulu, jatuh, bahkan gagal terlebih dahulu sebelum meraih sukses dan kebahagiaan di kemudian hari.
Patah itu hal biasa, perlu gagal juga untuk menjadi manusia. Sebab, tanpa itu semua, kita sebagai manusia akan selalu merasa sombong dan jumawa. Merasa apa yang ada di dunia ini adalah milik kita atau bahkan merasa semua bisa kita miliki. Padahal kita tahu, semua ini adalah milik Allah. Sekalipun nyawa kita, juga kepunyaan-Nya.
Perasaan memiliki inilah yang sangat berbahaya, maka harus berhati-hati. Tapi, tidak bisa dipungkiri, semenjak kita lahir ke dunia, kita sudah terbiasa dengan rasa memiliki semuanya. Merasa apapun yang ada disekitar kita adalah milik kita. Contoh saja seperti baju yang kita gunakan hari ini. Pernah tidak kita berpikir bahwa baju itu adalah milik Allah, saya rasa tidak. Pasti yang terlintas adalah baju ini milik saya. Bahkan, gadget yang kamu gunakan untuk membaca tulisan ini kepunyaan Allah, betul kan?
Lantas, sudahkah kita mengucap syukur dengan semua fasilitas yang kita nikmati sekarang. Merasa tidak memiliki dan mengembalikan semua kepunyaan hanya pada Allah semata. Jika belum, inilah saatnya.
Jika berpikir pantaskan kita menerimanya? Saya rasa sebenarnya tidak. Namun, karena rasa kasih sayang Allah yang begitu besar kepada hambanya. Allah senantiasa mempermudah segala urusan hambanya.
Pantaskah kita bersedih jika kita kehilangan semua fasilitas ini? seharusnya tidak. Karena rasa kecewa dan kehilangan tidak akan pernah datang kepada kita selama rasa kepemilikkan itu tak pernah ada.
Mana mungkin, sesuatu yang bukan milik kira akan kita tangisi. Kecuali, kita merasa memilikinya, sama halnya dengan harapan. Jika kita kembalikan kepada Allah, maka tidak akan ada perasaan kecewa. Karena apapun hasilnya itu adalah keputusan Allah.
Perasaan kecewa dan kesedihan itu tidak pernah diajarkan oleh agama ini, agama Islam. Bahkan Rasulullah SAW adalah seseorang yang selalu gembira. Sangatlah lapang hatinya, beliau yang senantiasa mengajarkan kepada kita untuk selalu tersenyum dan bahagia.
Jika dilihat lagi, Rasulullah SAW adalah orang yang paling pantas bersedih. Di awal dakwah, beliau diusir dari kampung halamannya hingga ingin dibunuh. Ditinggalkan sang paman yang selalu membela, bahkan pasangan yang sangat dicintainya juga berpulang lebih dulu. Mendapat ancaman dari kaum yang menentang ajarannya. Namun, itu semua tidak mematahkan semangat Rasulullah SAW dalam berdakwah dan tidak membuatnya larut dalam kesedihan.
"Dan janganlah kamu bersikap lemah dan jangan (pula) bersedih hati."
(QS, Ali Imran: 139)
Jelas sekali, jika Allah memerintahkan kita jangan larut dalam kesedihan. Jika jatuh bangkit lagi, jangan menjadi muslim yang lemah, kata Allah. Sepertinya kita lupa bahwa sifat sejati seorang muslim adalah tangguh, tahan banting, dan tidak mudah digoyahkan. Jika hari ini gagal itu adalah sebagian dari proses.
Nikmati proses tersebut, karena jika kita dapat menikmati proses. Kita yang terbiasa dengan kegagalan, akan menjadi tahu dimana celahnya dan akhir dari semua itu adalah kesuksesan yang nantinya kita terima.
Perlu gagal, kecewa, dan jatuh dalam berproses. Berlian pun harus dipanaskan dulu agar menjadi berlian yang bernilai tinggi. Sama seperti kita, perlu melewati hal pahit dulu sebelum menikmati manisnya.
Namun, apakan mungkin seorang muslim tidak pernah bersedih? Pertanyaan ini juga awalnya yang saya utarakan, "Masa sih, seorang muslim tidak pernah bersedih,"
Jawabannya adalah tentu pernah, bahkan dalam Alquran ada yang berbunyi seperti ini.
"Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan duka cita dari kami."
(QS. Fathir 34)
Ini adalah perkataan dari ahli surga kepada Allah. Disebutkan duka cita yang artinya seorang muslim yang taat tentu pernah mengalami kesedihan. Akan tetapi, kesedihan ini terjadi karena sebuah musibah atau cobaan yang menimpa mereka itu di luar dari ikhtiar mereka.
Percayalah, kesedihan tersebut tidak membuahkan dosa melainkah pahala untuk mereka, para ahli surga. Karena kesabaran dan tidak pernah larut dalam kesedihan. Yakin kalau musibah dan cobaan datang adalah semata dari Allah.
Begitupun memaknai kegagalan, jatuh, dan kecewa terhadap sesuatu. Itu semua adalah dari Allah dan kita harusnya bisa mengambil hikmah dari semua yang terjadi. Menerima adalah salah satu cara agar senantiasa mengembalikan semua urusan kita kepada Allah. Maka perasaan jatuh, kecewa, dan hal pahit lainnya tidak hinggap terlalu lama di dalam hati kita.
Jika jatuh bangkit lagi.
Jika kecewa maafkan, lapangkan, dan ikhlaskan.
Maka semua hal yang membuat kesedihan itu datang akan berlalu tanpa ada penyesalan. Yang ada hanyalah kesabaran dan pahal yang membuahkan manisnya kehidupan dunia dan akhirat kita.
Jadilah muslim yang tanggung dan tak mudah digoyahkan dengan kesedihan. Semangat untukmu dan untuk diriku juga. Selamat bertumbuh.
Posting Komentar